Saturday, May 5, 2018

sampai kapan kita masih bisa melihat sawah



Permadani surga yang Allah Ta’ala bentangkan di bumi-Nya di bumi indonesia adalah sawah. Di negeri ini, manusia mana yang tidak mengenal sawah. Selalu tampak indah, menyentuh dan menyuguhkan kedamaian. Warnanya yang hijau menyejukkan mata, sedangkan yang kuning kilau keemasan adalah wajah keceriaan dan senyum bahagia kita sebagi anak petani yang segera akan memetik hasil cucuran peluh keringat setiap hari.
Berdialog dengan hamparan sawah adalah berdialog dengan kesunyian, keindahan dan kemurahan Allah Ta’ala.Kita selalu merindukan untuk sekedar melihat dan menikmati pemandangan sawah yang damai, dengan airnya yang jernih, dengan jembatan bambunya yang bersahaja, dengan pancuran airnya yang segar, dan dengan latar belakang gunungnya yang membiru.
Betapa indahnya negeri ini, walau puluhan tahun dikelola dengan salah kaprah sehingga sawah bukan melambangkan kemakmuran malah menyimbolkan kemiskinan struktural secara turun-temurun. (mengutip tulisan moeflich).
Ya kemiskinan struktural, coba hitung. Berapa banyak diantara kita generasi keturunan anak petani untuk turun mengurus, menikmati proses bagaimana sawah ‘sejujurnya’ telah memberi nafas kehidupan bangsa ini. Coba hitung, berapa jumlah sawah yang ‘betul-betul’ kita kelola sesuai fitrah sebagai sumber kehidupan. Kita mungkin hanya mampu mengajarkan kepada anak kita teori terbentuknya nasi dihadapan mereka setiap hari. Tanpa pernah kita bertanya kepada anak-anak kita “maukah kamu menjadi petani “. Karena menjadi petani bukanlah cita-cita pilihan yang indah. Pernahkah kita menghitung, tinggal berapa berapa luas sawah di negeri ini. Pemimpin negeri ini hanya mengajarkan pada kita untuk bagaiamana mengelola sawah bukan bagaiamana agar sawah kita masih tetap menjadi kebanggaan, masih tidak tergerus oleh serakah akut penguasa dan kapitalisme. Konversi lahan sawah produktif ke non produktif telah memberikan sokongan terbesar dalam perusakan ekosistem sawah. Dan piawainya kapitalisme telah mampu meluluhkan hati kita untuk melepaskan sawah tempat kita bersandar hidup menjadi bangunan. Dengan dalil dan dalih ‘investasi’ salah kaprah.


Regulasi penguasa negeri tentang bagaimana agar sawah masih tetap lestari pun bagaikan tiada artinya. Betapa tidak, peraturan yang dibuat hanya untuk dilanggar. Konflik kepentingan institusi menjadi lebih sadis dari kapiltalisme itu sendiri. Kapitalisme seolah menjadi ‘tuan besar’ bagi mereka. Dan akhirnya kita hanya bisa meratapi, sampai kapan kita masih bisa menikmati permadani illahi. Apakah cucu kita masih sempat melihat sawah. Wallahu ‘alam

0 comments:

Post a Comment

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com