Permadani
surga yang Allah Ta’ala bentangkan di bumi-Nya di bumi indonesia adalah sawah. Di
negeri ini, manusia mana yang tidak mengenal sawah. Selalu tampak indah,
menyentuh dan menyuguhkan kedamaian. Warnanya yang hijau menyejukkan mata,
sedangkan yang kuning kilau keemasan adalah wajah keceriaan dan senyum bahagia
kita sebagi anak petani yang segera akan memetik hasil cucuran peluh keringat
setiap hari.
Berdialog
dengan hamparan sawah adalah berdialog dengan kesunyian, keindahan dan
kemurahan Allah Ta’ala.Kita selalu merindukan untuk sekedar melihat dan
menikmati pemandangan sawah yang damai, dengan airnya yang jernih, dengan
jembatan bambunya yang bersahaja, dengan pancuran airnya yang segar, dan dengan
latar belakang gunungnya yang membiru.
Betapa
indahnya negeri ini, walau puluhan tahun dikelola dengan salah kaprah sehingga
sawah bukan melambangkan kemakmuran malah menyimbolkan kemiskinan struktural
secara turun-temurun. (mengutip tulisan moeflich).
Ya kemiskinan
struktural, coba hitung. Berapa banyak diantara kita generasi keturunan anak
petani untuk turun mengurus, menikmati proses bagaimana sawah ‘sejujurnya’
telah memberi nafas kehidupan bangsa ini. Coba hitung, berapa jumlah sawah yang
‘betul-betul’ kita kelola sesuai fitrah sebagai sumber kehidupan. Kita mungkin
hanya mampu mengajarkan kepada anak kita teori terbentuknya nasi dihadapan
mereka setiap hari. Tanpa pernah kita bertanya kepada anak-anak kita “maukah
kamu menjadi petani “. Karena menjadi petani bukanlah cita-cita pilihan yang
indah. Pernahkah kita menghitung, tinggal berapa berapa luas sawah di negeri
ini. Pemimpin negeri ini hanya mengajarkan pada kita untuk bagaiamana mengelola
sawah bukan bagaiamana agar sawah kita masih tetap menjadi kebanggaan, masih
tidak tergerus oleh serakah akut penguasa dan kapitalisme. Konversi lahan sawah
produktif ke non produktif telah memberikan sokongan terbesar dalam perusakan
ekosistem sawah. Dan piawainya kapitalisme telah mampu meluluhkan hati kita
untuk melepaskan sawah tempat kita bersandar hidup menjadi bangunan. Dengan dalil
dan dalih ‘investasi’ salah kaprah.
Regulasi penguasa
negeri tentang bagaimana agar sawah masih tetap lestari pun bagaikan tiada
artinya. Betapa tidak, peraturan yang dibuat hanya untuk dilanggar. Konflik kepentingan
institusi menjadi lebih sadis dari kapiltalisme itu sendiri. Kapitalisme seolah
menjadi ‘tuan besar’ bagi mereka. Dan akhirnya kita hanya bisa meratapi, sampai
kapan kita masih bisa menikmati permadani illahi. Apakah cucu kita masih sempat
melihat sawah. Wallahu ‘alam
0 comments:
Post a Comment