Sebelum
menulis ini, angan saya melayang di sepuluh tahun yang lampau. Dimana didesaku
ada hajatan demokrasi yang hebohnya ngalahkan hajatan demokrasi negeri ini.
Geli dan tertawa sendiri mengingat kejadian lampau. Bagaiamana sebuah mekanisme
pemilihan pemimpin di tingkat kelurahan dari a to z. Unik, lucu dan juga mencekam.
Nah dibagian mencekam ini tentu ada kaitanya dengan nuansa syirik, mistis dan
tahyul. Hehe..maklum orang desa, walaupun masjid selalu ramai lima waktu tapi
untuk urusan yang beginian, tak ketinggalan menghiasai di setiap hajatan
pilkades berlangsung.
Pilkades
dimanapun dilaksanakan selalu ada intrik politik ala desa seolah meniru trik
trik politik ala pileg atau pilgub bahkan pilpres. Hanya saja skala dan
eskalasinya yang berbeda. Yang jelas torehannya selalu tak lepas dari
bumbu-bumbu money politics, perdukunan, perselisihan bahkan tak jarang bentrok
antar pendukung salah satu kandidat. Oya, juga beking membeking berdalih
menjaga keamanan juga tak kalah serunya.
Desaku atau
tepatnya dusunku adalah wilayah terluar sebuah kabupaten yaitu letaknya
berbatasan langsung dengan kabupaten tetangga. Batas terluar adalah sebuah
sungai yang mengalir air jernih, banyak kedung (cekungan tanah di dasar sungai )
yang dalam. Ikan tumbuh berkembang, bahkan udang serta beberapa satwa air
lainnya. Tak jarang dulu waktu kecil saya sering mencari udang terus ditaruh
dibatu besar yang panas karena sengatan matahari. Kalau udang sudah berubah
berwarna merah persis kayak digoreng, maka tandanya udang itu sudah matang.
Saya dan beberapa teman kecil dulu langsung menyantap, tanpa perasaan khawatir
ada kotoran bahkan bakteri. Nyatanya, kami sehat-sehat aja. Didusunku waktu aku
masih kecil merupkan dusun yang menjadi barometer ke Islaman. Karena banyak
kiyai dan ulama yang menjadi penyebar islam di dusun sekitar bahkan mencapai
radius ditingkat kecamatan. Dusun kami dijaga feodalisme ulama yang sangat
kental. Kalau anda melihat sinetron dunia terbalik ada tokoh pak ustadz rw, nah
itulah sama persis ‘kebesaran’ mbah kaji (biasa masyarakat) menyebut,
sebetulnya mbah kyai haji. Banyak penduduk dusun sekitar yang ‘ngangsu ngilmu’
ke dusun kami. Baik itu belajar kitab kuning sampai belajar kanuragan.Zaman saya masih kecil dulu pernah ada ulama besar yang menjadi lurah dan sekaligus kebangaan di tingkat kabupaten. kecerdasan dan pengetahuannya 'luar dalaml' ditambah gelar kiya haji yang melekat membuat beliau sangat berwibawa, tidak hanya dimata rakyatnya namun juga pada tataran pejabat di tingkat kabupaten. Namun sayang selepas itu nggak ada yang memiliki kualitas dibawah kelasnya sekalipun.
Kembali ke
pilkades. Hajatan politik ini seperti juga hajatan politik yang lain selalu
membelah pilihan masyarakat. Antara satu dengan yang lain tentu tidak sama
dukung mendukung kandidatnya, Selalu itu. Pada hanjatan ini masyarakat selalu
mengambil perannya sendiri-sendiri, ada yang berperan lagaknya politikus kelas
kabupaten bahkan tak jarang yang bergaya kelas provinsi. Paling rendah bergaya
pengamat politik lengkap dengan statemen dan arahan yang kadang ngawur namun
juga kadang benar situasinya. Dalam setiap kesempatan tongkrong baik itu di
warung, di gardu bahkan di masjid sekalipun setelah sholat jamaah. Mereka
dengan menggebu mengkampanyekan kandidat dukungannya, tak jarang kampanye
hitampun menjadi senjata halal. Disisi kandidat dua atau tiga tahun sebelum
ajang digelar sudah “tepe tepe” (tebar pesona) kemana mana. Berlagak bantu
semen masjidlah, beliin seragam sinomanlah, bantu seragam yassinanlah atau
segala perilaku yang intinya agar meraih simpatik dari masyarakat. Tak
terbayang berapa kocek harus dirogoh. Belum lagi setiap minggu ada pertemuan
tim sukses di sebuah rumah makan yang diundang pulangnya di amplopi
duit plus sebungkus rokok.
Yang Kaya Yang Lebih Sering Menang
Dalam
pilkades ini terkadang meyisihkan faktor penting kualitas sumber daya manusia.
Kandidat yang hanya berpendidikan lulusan es em pe (SMP) saja kadang kadang
menang telak karena kekuatan finasial. Namun tak jarang juga ada daerah atau
masyarakat tertentu yang tidak tergiur dengan iming iming sejumlah uang, karena
memang memikirkan sisi kualitas kandidat. Dulu sebelum handphone dan internet
menjadi bagian terpenting dalam dunia komunikasi, perangkat yang paling
bergengsi dan memiliki peran penting adalah handy talki (HT). Tak terbayang,
kalau tim sukses sudah pegang alat komunikasi itu. Petentang petenteng kemana
mana selalu diselipkan di pinggang bergaya ala polisi. Money politics senantiasa
menjadi warna dan bumbu manis dalam setiap perhelatan ini. Dimana kemunculan
seorang kandidat senantiasa diukur dari seberapa besar kemampuan kandidat
memberi bantuan, janji memberi bantuan serta amplop dan isinya. Pernah suatu
kali ditahun lampau seorang yang hanya berpendidikan smp, bertabiat tukang
judi, suka main perempuan. Tak pernah ‘ngambah’ masjid. Bisa menang telak
mengalahkan kandidiat yang berpendidikan perguruan tinggi. Ternyata telisik dari
sumber informasi yang berkembang sang kandidat menang dengan menghabiskan dan
500 juta rupiah. Jumlah kala itu adalah jumlah yang fantastis. Karena seseorang
dalam mencalonkan diri menjadi caleg saja paling hanya menghabiskan 200 sampai
300 juta. Kenapa tidak mencalonkan diri menjadi caleg saja. Ya, karena dia
sadar untuk menjadi caleg setidaknya harus pinter (walau terkadang tidak semua
caleg atau anggota legislatif itu pinter). Disinilah ukuran finansial menjadi
penting dan bahkan sangat penting untuk urusan menang. Money politics dengan
segala triknya justru selalu menjadi ajang rebutan bagi masyarakat. Suatu kali
waktu saya masih didesa, malam pencoblosan menjadi sebuah malam yang mencekam.
Artinya masing masing individu saling curiga dan menduga duga. Tak jarang
saling intip tim sukses mana yang mendatangi untuk memberikan segepok duit. Nah
yang uniknya lagi, kuburan menjadi tempat yang paling ramai dijaga. Karena
tempat angker ini menjadi ajang transaksional bagi potensi pembelotan dukungan.
Seorang tim sukses sambil mengendap-endap dengan membawa segepok amlop beris
duit berniat melakukan transaksi pembelian suara bagi pembelot. Karena untuk
dilakukan dari rumah ke rumah sangat sulit saking ketatnya penjagaan. Malam
pencoblosan merupakan malam pencarian ilham siapa yang bakal menang atau jadi
besok pagi. Proses pencarian ilham biasanya dilakukan ditempat terbuka, bisa
lapangan, sawah atau tempat lain yang sekiranya kita dapat mengawasi langit
menunggu ndaru kewahyon turun kearah mana. Ndaru ini bisa jadi bintang jatuh
atau semacam sinar apalah yang intinya kearah mana ia tertuju. Kalau kearah
barat berarti pertanda calon yang berasal dari tempat atau dusun paling barat
di wilayah kelurahanlah yang bakal
menang dan seterusnya.
Perang di
Medsos Ala Tim Sukses Pilkades
Perdebatan di media sosial yang melibatkan tim sukses pilkades menjadi berita unik dan menarik. Dari
cara tim sukses berdebat cenderung saling ejek sangat lucu dan lugu. Misal dari
sisi bahasa retorikanya mengalahkan calon legislatif. Kadang sok pinter namun
ungkapan bahasanya salah total. Menyebut “provokator” aja dengan “profokator”,
menyebut “opsi” aja dengan “obsi” dan masih banyak lagi yang lucu dan unik. Intinya
masing masing nilai perdebatan di medsos terutama facebook menjadi sangat
menggelikan. Update statuspun selalu hanya seputar dukungan dan penjatuhan. Ada
saya lihat status “ ayo bangun, tahajud biar calon kita menang “. Atau “kontak
politik sebagai tim sukses wajar dong kalau terima bayaran motor “
hihihi..lucu.
Itulah fenomena unik sering kita jumpai dalam perhelatan
pilkades. Belum lagi intrik syirik dan tahayul ketika para calon kandidat
mendatangi orang pinter untuk minta berkah. Yang lebih menyedihkan lagi suatu
peristiwa umum yang terjadi misal kematian seseorang setelah pilkades karena
jago lawan kalah terus berpikiran kena santet dan lain-lain. Yang jelas bahwa
demokrasi di lini bawah ini menyedot dana politik yang luar biasa, terkadang
hanya sekedar gengsi saja tanpa memperhatikan atau memperhitungkan apakah bisa
balik modal. Biasanya ukuran strategis yang diapakai adalah seberapa luas dan subur
tanah bengkok yang menjadi bagian sang pemenang. Terkadang terbersit pertanyaan
bisa nggak money politics dihilangkan dari ajang ini, kebanyakan menjawab
mustahil. Inilah realita, bukankah masyarakat desa lebih banyak meniru pola
masyarakat kota. Dalam jawaban singkatpun masyarakat mengartikulasikan money
politics ini sebagai bagian yang belum bisa hilang, dengan getol masyarakatpun
menyatakan, bukankah para anggota dewan, bupati, gubernur bahkan presidenpun
tak lepas dari jerat yang satu ini, entahlah...
JOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.cc
dewa-lotto.vip